Kesultanan Siak Sri Inderapura
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Siak Sri Inderapura Darul Ridzuan[1] ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ سياق سري ايندراڤورا | ||||||
| ||||||
| ||||||
Ibukota | Buantan, Siak Sri Inderapura | |||||
Bahasa | Minang, Melayu | |||||
Agama | Islam | |||||
Pemerintahan | Monarki | |||||
Yang Dipertuan Besar | ||||||
- | 1723-1746 | Raja Kecik | ||||
- | 1781-1791 | Raja Yahya | ||||
- | 1791-1811 | Sultan Sayyid Ali | ||||
- | 1915-1946 | Sultan Syarif Kasim II | ||||
Sejarah | ||||||
- | Didirikan | 1723 | ||||
- | Kemerdekaan Indonesia | 1945 |
Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan
Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak,
Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan
ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalilpada tahun 1723, setelah
sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam
perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat[2] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timurSumatera dan Semenanjung
Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan
terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan
Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan.[3][4][5] Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan
penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak
terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan
kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.[6]
Etimologi[
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasaSanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat
bertali erat dengan agama Islam,Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun
beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.[7][8]
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[9] masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan
diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani.[10]Berkaitan
dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.[11]
Agama
Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan
kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak
lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan
Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal:Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari
Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai
sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.[8] Sementara di Semenanjung
Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang
berkaitan dengan urusan agama Islam.[12][13]
Walau telah menerapkan hukum Islam pada
masyarakatnya, namun pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat
Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam
hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan
dalam bentuk rumahhanya diserahkan kepada anak perempuan
saja.[14]
Masa awal
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada antaraArcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau,[15] kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal. Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah
kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil.[3]
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat
menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus
melepaskan Siak dari pengaruh Johor.[5] Sementara Raja Kecil dalam Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelanapewaris Sultan Johor
yang kalah dalam perebutan kekuasaan.[16] Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan
bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya
yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[17] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri, yang ditujukan
kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.[18]
Sebelumnya dari catatan Belanda, telah
mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan
bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.[19] Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673),[20] yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga
telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh.[21][22] Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalagakepada VOC pada tahun 1694,
menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi
perdamaian dari perselisihan mereka.[23]
Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan
Johor[3] sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga
menuntut hak atas tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari
peperangan ini, Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di
pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.[5]Sementara
pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu
saja, dan menjadistatus quo dari masing-masing
penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah
tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut, kelompok
masyarakat yang bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera
sampai ke Lautan Cina Selatan dan loyalitas ini terus bertahan sampai kepada
beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.[24]
Masa keemasan
Sultan Siak dan Dewan Menterinya serta Kadi Siak pada
tahun 1888
Upacara penobatan Sultan Siak pada tahun 1899
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[4] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun
1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang
Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan
Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya dan atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda
diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[24]
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan
dan mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara
tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung
Malaya.[25] yakni Ancaman dari Siak, serta pada saat bersamaan Johor juga mulai
tertekan oleh orang-orang Bugis yang meminta balas atas
jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan
Belanda di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian
direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.[26][27]
Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim atas Johor memudar, dan
pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur
Sumatera dan daerah vazal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya.
Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda,
dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam
bidang persenjataan.[28] Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan
ini yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali,
yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya
Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan,
membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[29]
Pada 1764,
Encik Lah menyusun sejarah perang Siak (Syair Perang Siak) di Palembang.[30] Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil,
didukung oleh Orang Laut, terus
menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka,
kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga
turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan
ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan
saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu
sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang. Laporan
Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail
sewaktu kedatangannya ke Palembang.[29]
Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di
pesisir timur Sumatera. Tahun 1780
Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan
menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[31] termasuk wilayah Delidan Serdang.[32] Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan
Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor,[33] sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau
Penyengat.
Perdagangan
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan
perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan
perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun
1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka.[34] Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan
Inggris di Pulau Pinang.[35] Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang
Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau.
Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak,
terlihat dalam Tuhfat al-Nafis,[36] di mana dalam deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan kekayaan dunia.
Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap
kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan
pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan
timah dan emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah
menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan
industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan
cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak
mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau
Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan
syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang
mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.[37]
Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan
Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor
sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga
muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga
sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang
sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun
demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di
pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.[28]
Penurunan
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan
Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan
Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri.[38] Begitu juga di Johor kembali didudukan
seorang sultan dari keturunan
Tumenggung Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura.[39][40] Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang
Dipertuan Muda di Pulau Penyengatdan
kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain
itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouwpemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[41][42][43]
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima
tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya
pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin
kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat
perlindungan dari Inggris.[44] Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu
bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda,[45] setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858.[28][46] Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya,
kemudian dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat
persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda
mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat
perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda.[28]
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian
adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang
pernah dikuasainya.[47] Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian
Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda,
menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar
yang lemah.[48] Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah
Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada
Residen Riau.[49] Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan
sampai kemerdekaan Indonesia,[6] walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan
militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.
Bergabung dengan Indonesia
Sultan
Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki
putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan
kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.[6]
Struktur pemerintahan
Pengaruh Kerajaan
Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak,
setelah Sultan Siak, terdapatDewan Menteri yang mirip dengan
kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau.
Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama
dengan Undang Yang Ampat di Negeri
Sembilan.[50] Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta
peraturan bagi masyarakatnya.[14][51] Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan
pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh
model birokrasi pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada
kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan
pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang
panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi.Ingat
Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri
Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi
rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai
dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilanmaupun polisi. Pada bagian
akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan
serta perintah untuk tidak khianat kepada sultan dan nagari.[52]
Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu
kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id.[53] Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan
kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang
terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu
yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi
permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintahHindia-Belanda.[14]
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan
melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dalam
pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja yang bertanggung jawab terhadap pusaka
kerajaan.[52]
Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri
dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[49]yang
dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang
Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak,[54] salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan.[55]
Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu
oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat
juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan
Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki
oleh Penghulu.Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya
juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan
pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan
pesisir.[14][51][56]
Daftar Sultan Siak
Berikut adalah daftar Sultan Siak Sri Inderapura.
Tahun
|
Nama sultan
|
Catatan dan peristiwa penting
|
1723-1746
|
Yang Dipertuan Besar Siak
|
|
1746-1761
|
Sultan
Abdul Jalil Syah II
Sultan Mahmud |
Memindahkan pusat pemerintahan ke Mempura**
|
1761-1761
|
Sultan
Abdul Jalil Syah III
Raja Ismail[16] |
Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana selama 18 tahun*
|
1761-1770
|
Masa peralihan
|
|
1770-1779
|
Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
Raja Muhammad Ali |
Johor telah menjadi bagian dari Siak Sri Inderapura
Mengizinkan pendirian Kerajaan Negeri Sembilan tahun 1773 |
1779-1781
|
Sultan
Abdul Jalil Syah III
Raja Ismail |
Kembali berkuasa
|
1781-1791
|
Sultan
Abdul Jalil Muzaffar Syah
Sultan Yahya[58] |
Pada tanggal 1 - 8 - 1782 membuat perjanjian dengan VOC dalam berperang
melawanInggris, Meninggal
dunia tahun 1791 dan dimakamkan di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia)
|
1791-1811
|
Sultan Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Sayyid Ali |
Putra dari Sayyid Osman al-Syaikh 'Ali Ba' Alawi, yang menikahi cucu
perempuan Raja Kecil
|
1811-1827
|
Sultan Abdul Jalil Khaliluddin
Sultan Sayyid Ibrahim |
Membuat perjanjian kerjasama dengan Inggris tanggal 31 Agustus 1818.
Kemudian dengan Belanda tahun 1822 Pengaruh dari Perjanjian London tahun 1824, beberapa wilayah Siak lepas dan menjadi bagian dari kolonialisasi antara Inggris dan Belanda. Johor lepas dari Siak, berada dalam pengawasan Inggris. Pulau Lingga menjadi wilayah pengawasan Belanda. |
1827-1864
|
Sultan Abdul Jalil Jalaluddin
Sultan Sayyid Ismail
Mangkubumi Sayyid al-Syarif Jalaluddin 'Ali Ba' Alawi[59]
|
Menerima perjanjian baru dengan Inggris tahun 1840.
Tahun 1864 dipaksa Belanda turun tahta. |
1864-1889
|
Pengangkatannya mesti disetujui oleh Ratu Belanda, Belanda menempatkan controleurdi Siak
|
|
1889-1908
|
Yang Dipertuan Besar Syarif
Hasyim Abdul Jalil Saifuddin[14]
Sultan Syarif Hasyim |
Meresmikan Istana Siak Sri Inderapura
|
1915-1945
|
Yang Dipertuan Besar Syarif Kasyim Abdul Jalil Saifuddin[60]
Sultan Syarif Kasim II |
|
Catatan:
* Berdasarkan catatan Belanda, Raja Ismail lebih dikenal sebagai bajak laut. ** Berdasarkan Syair Perang Siak |
Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota
dari Kabupaten
Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889,[61][62][63] masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat
kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di
Kesultanan Siak Sri Inderapura.[51] Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di
Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.[64]
Galeri Bendera
Rujukan
1. ^ Supplement-catalogus Der Maleische en Minangkabausche
Handschriften in de Leidsche Universiteits - Bibliotheek, Brill Archive.
3. ^ a b c Andaya, L.Y., (1972), Raja Kechil and the Minangkabau
conquest of Johor in 1718, JMBRAS, 45-2.
4. ^ a b Barnard, T. P., (2003), Multiple centres of authority:
society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV
Press, ISBN 90-6718-219-2.
5. ^ a b c Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair
Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay
royal family in exile, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
6. ^ a b c Samin, S. M., (2002), Sultan Syarif Kasim II: pahlawan
nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau, ISBN 9799339650.
7. ^ As, M. S., (1996), Ulama pembawa Islam di Indonesia dan
sekitarnya, Lentera Basritama, ISBN 9798880161
9. ^ Tod, James (1899). The annals and antiquities of Rajastʾhan: or the central
and ..., Volume 2. Indian Publication Society. hlm. 1010.
10. ^ Iaroslav Lebedynsky. (2006). Les Saces: Les «Scythes» d'Asie,
VIIIe siècle av. J.-C. — IVe siècle apr. J.-C. Editions Errance, Paris. ISBN 2-87772-337-2
11. ^ Suparlan P., (1995), Orang Sakai di Riau:
masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia : kajian mengenai perubahan
dan kelestarian kebudayaan Sakai dalam proses transformasi mereka ke dalam
masyarakat Indonesia melalui Proyek Pemulihan Pembinaan Kesejahteraan
Masyarakat Terasing, Departemen Sosial, Republik Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia,ISBN 979-461-215-4.
12. ^ Lamry, M. S., Nor, H. M., (1993), Masyarakat dan Perubahan,
Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, ISBN 9679422496.
14. ^ a b c d e Luthfi, A., (1991), Hukum dan perubahan struktur kekuasaan:
pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa
Press.
16. ^ a b Barnard, T. P., (2004), Contesting Malayness: Malay identity
across boundaries, NUS Press, ISBN 9971-69-279-1.
17. ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal
of Southeast Asian History 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318.
19. ^ Andaya, L.Y., (1971), The Kingdom of Johor, 1641-1728: a
study of economic and political developments in the Straits of Malacca.
s.n.
21. ^ Borschberg, P., (2004), Iberians in the Singapore-Melaka Area
and Adjacent Regions (16th to 18th Century), Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 3447051078.
22. ^ Ricklefs, M.C., (2002), A History of Modern Indonesia Since
C. 1200, Stanford University Press, ISBN 0804744807.
24. ^ a b Andaya, L.Y., (1975), The Kingdom of Johor, 1641-1728,
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
25. ^ Ryan, N.J., (1969), The making of modern Malaysia and
Singapore: a history from earliest times to 1966, Oxford University Press.
26. ^ Miller, F.P., Vandome, A.F., McBrewster, J., (2010), Johor
Sultanate, VDM Verlag Dr. Mueller e.K., ISBN 6133801638.
28. ^ a b c d Reid, A., (2005), Asal mula konflik Aceh: dari perebutan
pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Yayasan Obor
Indonesia,ISBN 979-461-534-X.
29. ^ a b Barnard, T.P., Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the
Transformation of Malay Identity in theEighteenth Century, Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 (Oct., 2001), pp. 331-342.
30. ^ Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia -
Sejarah Singkat.Jakarta: KITLV bekerja
sama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. hlm. 69. ISBN 979-461-537-4.
31. ^ Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi, Volume 2,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1989
32. ^ Cribb, R. B., Kahin, A., (2004), Historical dictionary of
Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
33. ^ Karl Hack, Tobias Rettig, (2006), Colonial armies in
Southeast Asia, Routledge, ISBN 0-415-33413-6.
34. ^ Lee Kam Hing, (1986), The Shipping Lists of Dutch Melaka; A
Source for the Study of Coastal trade and Shipping in the Malay
peninsula during the 17th and 18th centuries, in: Mohd. Yusoff Hashim et
al., Kapal dan Harta Karam; Ships and Sunken Treasure, pp. 53-76, Kuala Lumpur:
Muzium Malaysia.
35. ^ The London general gazetteer, or Geographical dictionary:
containing a description of the various countries, kingdoms, states, cities,
towns, &c. of the known world, W. Baynes & Son, 1825.
39. ^ Cook, Bethune, (1819), Sir Thomas Stamford Raffles: Founder
of Singapore, 1819 and some of his friends and contemporaries,
London : A.H. Stockwell.
40. ^ Trocki, C. A., (2007), Prince of Pirates: The Temenggongs and
the Development of Johor and Singapore, 1784-1885, NUS Press, ISBN 9971693763.
41. ^ Netscher, E., (1854), Beschrijving van een Gedeelte der
Residentie Riouw, Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en, Volkenkunde.
43. ^ Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 1997, Volume
153, Issues 3-4, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, M.
Nijhoff.
44. ^ Locher-Scholten, E., (2004), Sumatran Sultanate and Colonial
State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, SEAP
Publications, ISBN 0877277362.
45. ^ Dick, H.W., (2002), The Emergence of a National Economy: An
Economic History of Indonesia, 1800-2000, University of Hawaii Press, ISBN 0824825527.
47. ^ Milner, A. C., (1982), Kerajaan: Malay political culture on
the eve of colonial rule, University of Arizona Press, ISBN 0816507724.
49. ^ a b Wolters, O. W., (1999), History, Culture, and Region in
Southeast Asian Perspectives, SEAP Publications, ISBN 0877277257.
50. ^ Martin, L., (1889), The Negri Sembilan: their origin and
constitution, Singapore, Foreign and Commonwealth Office Collection.
51. ^ a b c Sejarah daerah Riau, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977.
52. ^ a b Barnard, T.P., Rules for Rulers: Obscure Texts, Authority,
and Policing in Two Malay States, Journal of Southeast Asian Studies, Vol.
32, No. 2 (Jun., 2001), pp. 211-225.
54. ^ Dobbin, C. E., (1983), Islamic revivalism in a changing
peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0700701559.
55. ^ L.W.C. van de Berg, Le Hadramouth et les colonies Arabes dans
l'archipel Indien, Batavia:Imprimerie du gouvernement, 1886.
56. ^ Kathirithamby-Wells, J., Royal Authority and the "Orang
Kaya" in the Western Archipelago, circa 1500-1800, Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 17, No. 2 (Sep., 1986), pp. 256-267.
57. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan
Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde 11.
Lange & Co. hlm. 113.
58. ^ Koster, G. L., (1997) Roaming through seductive gardens:
readings in Malay narrative, Volume 167 of Verhandelingen Series,
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
61. ^ Rahman, E., Marni, T., Zulkarnain, (2003), Alam melayu:
Sejumlah gagasan menjemput keagungan, Unri Press, ISBN 979329776X
Daftar Pustaka
·
Flicher, A., (2009), Les Etats princiers des Indes
néerlandaises, Dreux
·
Ghalib, W., (1992), Adat istiadat Melayu Riau di bekas
Kerajaan Siak Sri Indrapura: pengkajian dan pencetakan kebudayaan Melayu Riau,
Lembaga Adat Daerah Riau, Lembaga Adat Riau dan Pemerintah Daerah Tk. I Prop.
Riau, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau.
·
Muhammad, H.T.S.U., Effendy, T., Jaafar,
T.R., (1988), Silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Siak
Sri Indrapura dan Kerajaan Pelalawan.s.n.
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar