Kesultanan Serdang
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Negeri Kesultanan Serdang ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ سردڠ | ||||||
| ||||||
| ||||||
Ibukota | Perbaungan | |||||
Bahasa | Melayu | |||||
Agama | Islam | |||||
Pemerintahan | Monarki | |||||
Sejarah | ||||||
- | Didirikan | 1723 | ||||
- | Revolusi Sosial | 1946 | ||||
Warning: Value specified for "continent" does not comply |
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946.
Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai
timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865.
Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan
tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa
revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu
menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Wilayah kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai,
Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam
Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.[1]
Sejarah
Pendirian kerajaan Deli
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan
Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah
dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Suku Karoyang sudah
sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang
sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630.
Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi
Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung
Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari
Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga
Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga
Datuk Berempat tersebut.[1]
Kemelut di tubuh kerajaan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika
Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena
putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya,
sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat
berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya,
Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.[1]
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan
ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara
Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku
Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang
saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung
Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu
(Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu
merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat
itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan
Deli.[1]
Periode pemerintahan
Penggabungan dengan Perbaungan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946.
Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah
Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah
(1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam,
puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi
penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak
ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki.
Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan
Serdang, maka akhirnya, KerajaanPerbaungan digabung dengan Serdang.
Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan
kekerabatan, bukan karena peperangan.[1]
Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat
menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang
sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela
mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat
di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku
Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar
Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama:
Tengku Besar.[1]
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal
Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850)
diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu,
sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki
putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya
meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi,
menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi
raja, karena sebab-sebab tertentu.[1]
Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada
tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda.
Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah
bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Struktur pemerintahan
Raja pertama
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada
masa itu, peranan seorang raja adalah:[1]
1. Sebagai Kepala
Pemerintahan Kerajaan Serdang.
2. Sebagai Kepala Agama
Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
3. Sebagai Kepala Adat
Melayu.
Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah
(1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang
berpangkat Wazir Sultan, yaitu:[1]
1. Raja Muda (gelar ini
kemudian berubah menjadi Bendahara)
2. Datok Maha Menteri
(wilayahnya di Araskabu)
3. Datok Paduka Raja
(wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
4. Sri Maharaja (wilayahnya
di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja
Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg.
Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas
berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4
penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan
azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga
melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu:
suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan
lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri.
Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun
perhelatan besar.[1]
Jabatan lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar
(perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang
menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat
seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’
bersendikan Kitabullah”.[1]
Penguasa/Sultan
Penguasa
·
1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap [Kejeruan Junjungan], Raja Serdang
·
1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan
Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar [Al-Marhum
Kacapuri], Raja Serdang.
·
1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah [Al-Marhum Besar],
Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
·
1851-1879 Sri Sultan Muhammad Bashar
ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan
Thaf Sinar Bashar Shah [Al-Marhum Kota Batu], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar
Serdang
·
1879-1946 Sri Sultan Tuanku Sulaiman
Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din
[Al-Marhum Perbaungan], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
Kepala Rumah Tangga
·
1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni
al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala
Rumah Tangga Istana Serdang
·
1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu
Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif
ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
·
2001 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan
Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus
raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial
masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah
untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan
secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya
di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Syah.[1]
Catatan utusan Kerajaan Inggris
Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena
perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang
tahun 1823,
ia mencatat:[1]
1. Perdagangan antara
Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
2. Sultan Thaf Sinar Basyar
Syah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka
memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
3. Industri rakyat
dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang
melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui
Serdang.
4. Baginda sangat toleran
dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang,
termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
5. Cukai di Serdang cukup
moderat.
Pepatah Melayu
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah
adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:[1]
·
secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan
itik, air yang dalam diperlihara ikan;
·
genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai
kejayaan);
·
cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi
kerja keras maka pembangunan terlaksana);
·
hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja
pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ini amat
berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan,
akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk
Melayu (Islam). Atas dasar
jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang
Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.[1]
Referensi
Pranala luar
·
(Indonesia) Reinterpretasi dan Reposisi
terhadap Adat dan Tradisi: Kasus Melayu Islam beraja di Serdang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar