Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Pasai Samudera Darussalam | |||||
| |||||
Ibukota | Pasai | ||||
Bahasa | Melayu | ||||
Agama | Islam | ||||
Pemerintahan | Monarki | ||||
Sejarah | |||||
- | Didirikan | 1267 | |||
- | Invasi Portugis | 1521 | |||
Mata uang | Koin emas dan perak | ||||
Warning: Value specified for "continent" does not comply |
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islamyang terletak
di pesisir pantai utara Sumatera, kurang
lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh
Utara, ProvinsiAceh, Indonesia.
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat
digunakan sebagai bahan kajian sejarah.[1]Namun
beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan
dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan
emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh,
sekitar tahun 1267.
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri
ini pada tahun 1345.
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Pembentukan awal
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang
pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang
raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2] Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar
Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus
Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan
merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang
telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah
satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian
sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi
oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeriSamatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab
Syafi'i.[5]
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan.
"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia
duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak
keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu".
Relasi dan persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik
az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun
1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia
tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya
pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut
turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai
dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah
selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru,
sebelah utara dengan laut,
sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat
berjumpa dengan kerajaan Lambri(Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3
hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan
hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.[6]
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita tersebut.[6]
Lonceng Cakra Donya
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut
ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai,
menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah
memagari kotanya dengan kayu,
yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan
ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh
sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik.[6] Sehingga penamaanLhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak
sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa
petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan
penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan
Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan
Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur
di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di
Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan
bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang
buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai
dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi
andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil.
Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat
70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk
menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5
meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari
bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di
atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]
Agama dan budaya
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai
masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai
mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun
tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan
ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana
diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa
pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus
Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan
Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut.
Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan olehPortugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.
Daftar penguasa Pasai
Berikut daftar penguasa Pasai,
Periode
|
Nama Sultan atau Gelar
|
Catatan dan peristiwa penting
|
1267 - 1297
|
Hikayat Raja-raja Pasai dan makam raja
|
|
1297 - 1326
|
Koin emas telah mulai diperkenalkan
|
|
1326 - 1345
|
||
1345 - 1383
|
||
1383 - 1405
|
||
1405 - 1412
|
Sultanah Nahrasiyah
|
Raja perempuan, (janda Sultan Pasai sebelumnya)
|
1405 - 1412
|
Sultan Sallah ad-Din
|
Menikahi Sultanah Nahrasiyah
|
1412 - 1455
|
Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir
|
Mengirim utusan ke Cina
|
1455 - 1477
|
Sultan Mahmud Malik az-Zahir II
|
|
1477 - 1500
|
Sultan Zain al-Abidin ibn Mahmud Malik az-Zahir II
Sultan Zain al-Abidin II |
|
1501 - 1513
|
Sultan Abd-Allah Malik az-Zahir
|
|
1513 - 1521
|
Sultan Zain al-Abidin III
|
Warisan sejarah
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh
yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh sejarahwan sebagai tanda telah
masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang
lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan
mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam mengungkap
sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan
ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri
kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
Rujukan
1. ^ Ricklefs, M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since
c.1300, 2nd Edition, Stanford: Stanford University Press, hlm. 15, ISBN 0-333-57690-X.
2. ^ a b c Hill, A. H., (1960), Hikayat Raja-raja
Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland,
London. Library, MBRAS.
3. ^ Wicks, R. S., (1992), Money, markets, and trade in early
Southeast Asia: the development of indigenous monetary systems to AD 1400,
SEAP Publications, ISBN 0877277109.
4. ^ Moquette, Jean Pierre, (1913), De Oudste Vorsten van
Samudra-Pase, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst, Batavia, hlm. 1-12.
5. ^ Ferrand, Gabriel, (1914), Relations de voyages et textes
geographiques : Arabes, Persan et Turks relatifs a l'Extreme-Orient du
VIIIe au XVIIIe siecles, traduits, II, hlm. 440-450.
6. ^ a b c d Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di
Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 9794613614.
Kepustakaan
·
T. Ibrahim Alfian, (1979), Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Proyek Rehabilitasi
dan Perluasan Museum, Aceh.
Pranala luar
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar