Kerajaan Klungkung
Kerajaan Klungkung Kerajaan , Klungkung | |||||
| |||||
Ibukota | Semarapura,Klungkung | ||||
Bahasa | Bali | ||||
Agama | Hindu | ||||
Pemerintahan | Monarki | ||||
Sejarah | |||||
- | Didirikan | 1350 | |||
- | Dibubarkan | 1908 | |||
Warning: Value not specified for "continent" |
Kerajaan Klungkung adalah suatu kerajaan di Bali bagian selatan yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-14.
Pada jaman kerajaan, Klungkung menjadi pusat pemerintahan raja-raja Bali.
Raja Klungkung adalah pewaris langsung dan keturunan lurus dari Dinasti Kresna
Kepakisan. Oleh karenanya sejarah Klungkung berhubungan erat dengan
raja-rajayang memerintah di Samprangan dan Gelgel. Selama pemerintahan Dinasti
Kepakisan di Bali, terjadi dua kali perpindahan pusat kerajaan (tahun
1350-1908)[1]:
·
Pertama dari Samprangan ke Gelgel – Swecapura berlangsung secaradamai (abad
ke-14) dengan raja yang berkuasa: Dalem Ketut Nglesir,Dalem Waturenggong, Dalem
Bekung, Dalem Segening, dan Dalem DiMade.
·
Kedua: pusat kerajaan pindah dari Gelgel – Swecapura ke pusat Kerajaan
Klungkung – Semarapura abad 17 – 20 dengan Raja DewaAgung Jambe, Dewa Agung
Made, Dewa Agung Di Madya, Sri AgungSakti, Sri Agung Putra Kusamba, dan Dewa
Agung Istri Kania.
Kerajaan Klungkung Bali telah berhasil mencapai punjak kejayaan dan
keemasannya dalam bidang pemerintahan, adat dan seni budaya pada abad ke 14– 17
di bawah kekuasaan Dalem Waturenggong dengan pusat kerajaan di Keraton Gelgel –
Swecapura memiliki wilayah kekuasaan sampai Lombok dan Blambangan.
Menurut sumber lain Kerajaan Klungkung berdiri bersamaan dengan dibangunnya
kraton Smarapura tahun 1686 dan diakhiri dengan Puputan
Klungkung tahun 1908 sebagai Kerajaan terakhir di Bali yang melakukan perlawanan dengan cara puputan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai
kerajaan yang merdeka terhadap meluasnya praktek politik kolonial Belanda di
Nusantara[2].
Sistem sosial
Sebagai sebuah kerajaan secara struktur tampak unsur-unsur yang saling
mengait di dalamnya. Hubungan antara kepemimpinan raja, Dewa Agung sebagai
penjelmaan Wisnu (gusti) dengan rakyat (kaula) atau bagawanta
dengan raja dan rakyatnya sisya. Stratifikasi sosial yang dipengaruhi
oleh Hinduisme dengan pembagian yang mirip dengan kasta-kasta di India.
Tradisi-tradisi kerajaan seperti: tawan karang, mesatia, penobatan raja, hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lainnya, kerja sama antara kerajaan-kerajaan Bali dalam
menghadapi musuh dari luar, hubungan kerajaan Klungkung dengan pemerintah
Hindia Belanda . Tradisi -tradisi Majapahit seperti pusaka-pusaka keraton
seperti keris dan tombak, asal usul keturunan raja bersal dari Majapahit.
Masyarakat kerajaan di Klungkung memperlihatkan ciri masyarakat yang
bertingkat-tingkat sesuai dengan golongan yang ada. Dalam situasi
sosio-kultural seperti inilah kelompok elite yang memimpin tumbuh dan
dibesarkan serta berpengaruh di masyarakat. Pengaruh yang sangat kuat tampak
jelas dalam peran yang dimainkan oleh elite politik dan religius senantiasa
bisa dikembalikan pada golongan brahmana. Raja-raja yang memerintah sampai raja
terakhir yaitu Dewa Agung Jambe dengan para kerabatnya yang memegang kekuasaan
disatu pihak dan Bagawanta dipihak lain memiliki posisi sentral dalam
pemerintahan di Klungkung, Posisi sentral kelompok pemimpin ini diperkuat lagi
dengan adanya bentuk-bentuk kepercayaan yang bersifat magis.
Kepercayaan terhadap kekuatan magis dan kitos tentang tokoh pemimpin
terutama sangat menonjol sekitar pribadi raja, Dewa Agung, yang dianggap
sebagai penjelmaan Wisnu. Benda-benda pusaka seperti keris, tombak dan meriam I
Seliksik memegang peranan penting dalam menamhbah kewibawaan raja yang
memerintah[3].
Kemunduran Kerajaan
Belanda mulai mengurangi kedaulatan kerajaan Klungkung dan ingin memasukkan
ke dalam wilayah Hindia Belanda, seperti pada tanggal 24 Mei 1843 diadakan
perjanjian penghapusan tradisi tawan karang kerajaan Klungkung. Perjanjian ini telah
menimbulkan rasa tidak senang dikalangan pejabat kerajaan. Ditambah dengan
sebab-sebab lainnya seperti perampasan dua buah kapal yang kandas di Bandar
Batulahak (Kusamba) .Keterlibatan laskar Klungkung dalam perang antara Buleleng
dengan Militer Belanda di Jagaraga Tahun 1848 - 1849 mempertajam permusuhan
antara pihak Belanda dengan pihak kerajaan Klungkung. Permusuhan dan rasa tidak
puas Dewa Agung Istri Balemas memuncak, dan akhirnya meletus menjadi perang
terbuka yaitu perang Kusamba Tahun 1849. Pada perang itulah Jendral Michiels tewas sebagai pimpinan
ekspedisi militer Belanda.
Yang menarik dari peristiwa perang Kusamba menurut sumber penulis Belanda
ialah munculnya tokoh wanita yaitu Dewa Agung Istri Balemas sebagai seorang
sebagai seorang wanita yang sangat benci dan menentang intervensi Belanda dan
ia dianggap pemimpin golongan yang senantiasa menggagalkan perjanjian
perdamaian dengan pihak Belanda.
Diawal Abad ke - 20 disodorkan lagi perjanjian tentang Tapal Batas antara Kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Klungkung, tepatnya pada tanggal
7 Oktober 1902. Setelah penandatanganan perjanjian Tapal Batas timbul
perselisihan antara kerajaan Klungkung dengan Gubernemen mengenai Daerah Abeansemal, Vasal Kerajaan Klungkung yang berada di daerah
kerajaan Gianyar. Dukungan raja Klungkung terhadap meletusnya perang Puputan di
kerajaan Badung Tahun 1906.
Perjanjian tahun 17 Oktober 1906 tentang kedaulatan Gubernemen atas kerajaan Klungkung telah menurunkan
status kenegaraan dan politik kerajaan Klungkung sebagai sesuhunan raja-raja
Bali. Hal ini memperkuat sikap menentang Dewa Agung dan kalangan pembesar
kerajaan yang memuncak pada perlawanan Puputan
Klungkungtahun 1908 yang menyebabkan
kehancuran kerajaan dengan terbunuhnya raja Dewa Agung beserta banyak
pengikutnya.
Kertha Gosa peninggalan kerajaan Klungkung
Catatan Kaki
Pranala luar
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar