Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ ﻛﻮﺗﻲ ﻛﺮﺗﺎﻧﯖﺮﺍ ﺇڠ ﻣﺮﺗﺎﺩﭬﻮﺭﺍ Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura | ||||||
| ||||||
| ||||||
Ibukota | Kutai Lama(1300-1732) Pemarangan(1732-1782) Tepian Pandan(1782-1960) | |||||
Bahasa | Bahasa Melayu (dialekKutai) | |||||
Agama | Islam (resmi) Kaharingan Animisme Kristen | |||||
Pemerintahan | Monarki | |||||
Sultan | ||||||
- | 1300-1325 | Aji Batara Agung Dewa Sakti | ||||
- | 1920-1960 | Aji Muhammad Parikesit | ||||
- | 2001-sekarang | Aji Muhammad Salehuddin II | ||||
Sejarah | ||||||
- | Didirikan | 1300 | ||||
- | Menjadi kesultanan | |||||
- | Dihidupkan kembali | |||||
- | Masuk wilayahIndonesia | 1960 | ||||
Sekarang bagian dari | Indonesia |
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura)merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai
Lamadan berakhir pada 1960.
Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
Sejarah
Pendirian
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah
desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama
Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama(1365), yaitu salah satu
daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dariMajapahit[1].
Pada abad ke-16, Kerajaan
Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian
menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh
tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji
Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai
Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan
pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura[1].
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja
Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh
Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan
Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC
membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak
tahun 1636,
Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah
memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan
Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki
wilayah Sukadana (1622)[2].
Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi
semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada
pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian
Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar
Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum
Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi
ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I
Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan
Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda
berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda
untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai
berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756.[4], karena
VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh
VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng(raja Wajo) yang anti VOC.
Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya -
Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami
kegagalan.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan
Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang
menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan
daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah
menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC
Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh
VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC
meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar
yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan
kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi
wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris
menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan
daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian
dengan Sultan Banjar[4]. Negeri
Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang
Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman
dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah
pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang
Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman
dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr.
Tobias[4].
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri
Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di
Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin
pada tanggal 4 Mei 1826[4].
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris merupakan
raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan
diri dari dominasi Sultan Banjar yang berada dalam
pengaruh VOC. Sultan Aji
Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi
Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].
Pada tahun 1739,
Sultan Aji
Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan
Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian
dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado
kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan
gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota
yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh
kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji
Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan
Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang.
Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan
terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado
meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].
Pada tahun 1780,
Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin diistana Kesultanan Kutai
Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].
Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan
ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap
telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan
sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].
Pada tahun 1838,
Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada tahun 1844,
2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan
meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari
di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak
dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri
menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada
Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas tersebut[6].
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan
balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah
salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan
permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan
armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya
di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji
Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani
bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang
Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai
Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan
Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.[7]
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator
sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut
Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai
termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister
van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849,
No. 8[8]
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk
kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah
Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen
di Samarinda. Saat itu kekuatanpolitik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun
1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863,
kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari
Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang
asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak
semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat
terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai
diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].
Tahun 1899,
Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907,
misi Katolik pertama didirikan di Laham,
Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan
kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan
Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam
kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada
waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa,
tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan
Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget
dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga
banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan
pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan
bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai.
dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit
dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang
banyak kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai
hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut,
kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap
tahunnya. Hingga tahun 1924,
Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat
fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936,
Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat
dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana
tersebut selesai dibangun.
Kedatangan Jepang
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai
pada tahun 1942,
Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang.
Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koodengan nama kerajaan Kooti.
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai
Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timurbersama-sama daerah
Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan
Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa
tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959,
berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah
Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3
Daerah Tingkat II, yakni:
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di
Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah
untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang
Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima
pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad
Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai,
Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan).
Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit
berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].
Pada tahun 1999,
Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani
Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai
ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai
Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai
Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui
dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai
yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota
Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat
dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe
sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September
2001.
Wilayah
Wilayah kekuasaan kesultanan
Kutai(berwarna hijau tua).
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya
meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat
ini, yakni:
5. Kota Bontang
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun
1959 adalah seluas 94.700 km2.
Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa
Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten
Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah
pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan
Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota
di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman
Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang
penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi
pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat
dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899,
Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin
(1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari
bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua
lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun
menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun
1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar
karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara
waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama
peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM
( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie.
Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik
bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta
keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan
disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah
berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian
dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diganti
dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan
keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971.
Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal
18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas
keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk
dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini
disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di
antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur,
seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga
kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini
kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf
Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang
tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di
daerah Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai
sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai
Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada
masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
Gelar kebangsawanan
Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan
yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan
di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai
Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
·
Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama
Sultan bagi kerabat kerajaan.
·
Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi
permaisuri Sultan.
·
Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.
·
Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar
Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
·
Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji
Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang
sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
·
Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi
dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan
Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
·
Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar
Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah
dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri
atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak
menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan
keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar
Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab
(Sayid).
Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya
memperoleh gelar sebagai berikut:
·
Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera
dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
·
Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri
dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa.
Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.
Referensi
2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik,
Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press,
1994.
3. ^ Johannes Jacobus Ras,
Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti
Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim
Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan
Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan
Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia,
Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan
ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1. Unknown parameter |fisrt= ignored (help)ISBN 9789794074107
7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy.
Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0.ISBN 978-602-8397-21-6
9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en
de zeevaartkunde 13. hlm. 358.
10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche
landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi.
hlm. 242.
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar