Kerajaan Medang (Mataram Kuno)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini membahas tentang kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu.
Untuk kerajaan Islam, lihat Kesultanan
Mataram.
Mdaη
|
|||||
|
|||||
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur
|
|||||
Ibukota
|
Jawa Tengah: Mdaη i Bumi Mataram (lokasi tepat tidak diketahui, diperkirakan di
sekitar Yogyakarta dan Prambanan),
kemudian pindah ke Poh Pitu dan Mamrati
|
||||
Bahasa
|
|||||
Agama
|
|||||
Pemerintahan
|
|||||
Raja
|
|||||
-
|
732—760
|
||||
-
|
985—1006
|
||||
Sejarah
|
|||||
-
|
752
|
||||
-
|
Kekalahan Dharmawangsa dari Wurawari danSriwijaya
|
1045
|
|||
Mata uang
|
Masa dan Tahil (koin emas dan perak lokal)
|
Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah
kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah
berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta
membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada
awal abad ke-11.
Nama
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti
yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengahadalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada
salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad
ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atauKerajaan Mataram Hindu.
Pusat Kerajaan Medang
Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan
Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini
ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan,
meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali
perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang
berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
·
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
·
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
·
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
·
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
·
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
·
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
·
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakartasekarang.
Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerahKedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut
dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya
terletak di daerah Jombang. Istana
terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di
daerah Madiun.
Awal berdirinya kerajaan
Prasasti
Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitungmenyebutkan
dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri
Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732,
namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan
adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau.
Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha,
saudara perempuan Sanna.
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau
"Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan
dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M.
Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja
pertama Kerajaan Sunda (setelahTarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh)
adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa
mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan
Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta
bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya
dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan
Kalingga (setelah Ratu Shimamangkat).
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya.
Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan
antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi
kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh
Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita
Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah
kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa
di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana padaperiode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaituSanjaya. Dinasti ini
menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori
van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh
Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan
berhasil pula menguasai Kerajaan
Sriwijaya di Pulau Sumatra.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an,
seorang keturunan Sanjaya bernamaRakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja
Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap
sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti
Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya
secara keseluruhan. Sementara ituSlamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah
berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang
diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778memuji
Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai
Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih
mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru
dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang
identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang
bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan
“Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu
Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang
selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti
Mantyasih.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan olehMpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam
prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi
Mataram.
Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram
sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:
1. Sanjaya, pendiri
Kerajaan Medang
2. Rakai Panangkaran,
awal berkuasanya Wangsa Syailendra
10. Mpu Daksa
13. Mpu Sindok, awal
periode Jawa Timur
16. Dharmawangsa
Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar
ini setara dengan Datu yang berarti
"pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti
dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama
terjadi pada Kerajaan
Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti
Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang
bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i
Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja
yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih
zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit
jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada
zaman Wangsa
Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wkadan Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman
sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri
dalam negeri pada zaman sekarang.
Keadaan penduduk
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada
umumnya bekerja sebagaipetani.
Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya,
yaitu Kerajaan
Sriwijaya merupakan negara maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. KetikaSailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian
pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh
toleransi.
Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan
beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan
Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu
Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.
Sedangkan menurut prasasti
Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalahRakai
Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan
kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia
dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri
kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong.
Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah
melalui kudeta pula.
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.
Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan
tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain,
membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut
disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur.
Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa
itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana
baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang
berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa,
melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang
merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan
Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal
ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putraSamaragrawira.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan
dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang
menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang
dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan
ketika Wangsa
Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya
datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang
dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang
di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya
peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi
pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa
Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur
ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991.
Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta
perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari
Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa
tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai
kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan
yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan
Kahuripan.
Peninggalan sejarah
(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua.Jawa
Tengah, abad ke-9/ke-10,tembaga, 12,0 x 7,5
cm. (Tengah:Chundā lengan-empat, Jawa Tengah,Wonosobo, Dataran
Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm.
(Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10,
perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak diMuseum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan
Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha.Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa
Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi
Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan,Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan
tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.
Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.
Kepustakaan
·
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
·
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
·
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
·
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar