Ilimandiri Larantuka Tana Nagi Lamakéra [1] | |||||
| |||||
Ibukota | Larantuka | ||||
Bahasa | Melayu | ||||
Pemerintahan | Monarki | ||||
Sejarah | |||||
- | Didirikan | 1600 | |||
- | Dibeli Belanda dari Portugal | 1859 | |||
- | Dibubarkan oleh Belanda | 1 Juli 1904 1904 | |||
Sekarang bagian dari |
Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa
Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal,[2] sedangkan dalam bahasa Portugis: Cabo de Flores [3] yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores,[4] dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan
sebagai Galiyao [5][6] yang disebut sebagai penghasil kayu cendana.[7]Wilayah kekuasaannya mencapai Adonara.[8] dengan raja pertama bernama Lorenzo I [9]
Permulaan
Sebelum tahun 1600, pedagang Portugis meninggalkan Solor dan menetap di Larantuka. Para pedagang terlibat dalam konflik dengan
Dominikan di Solor, karena mereka lebih tertarik dalam perdagangan daripada
kristenisasi. Pada tahun1613, Solor diduduki Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka
juga. Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal untuk perdagangan kayu
cendana dari Timor dan menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian
tenggara. Larantuka bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch East India
Company (VOC).
Ritus
Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan
proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial
melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di
Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang,
ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong
Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’
yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu.
Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi
suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya,
nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam
upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan
duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama
Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia
adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam
kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas
mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang
ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal
usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan
leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint
bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal
suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau
saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari
jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut
Kelake.
Legenda
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari
perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal
dari gunung Ile
Mandiri.[10] Wanita tersebut disebut sebagai Tuan Ma yang tidak lain adalah Bunda Maria.[11] Karena terdapat sebuah arca (patung) Tuan
Ma yang diyakini sebagai penjelmaan langsung dari Bunda Maria.[11] Menurut cerita legenda Resiona (seorang
penduduk asli Larantuka) adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang
Bersedih yang terdampar di bibir Pantai Larantuka.[11] Konon, tujuan orang Portugis membawa
Resiona ke Malaka adalah untuk belajar agama Katolik.[11]
Referensi
2. ^ Sareng Orinbao (1969), Nusa
Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba), Percetakan
Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende
3. ^ Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka
1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).
4. ^ Nama Pulau Flores berasal dari
Bahasa Portugis Cabo de Flores yang berarti Tanjung
Bunga. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah
paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak
tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.
5. ^ Barnes, R. H., The Majapahit
dependency Galiyao, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 138,
p. 407-412
6. ^ Prapantja, Rakawi, trans. by
Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in
Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365
AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29-34
7. ^ Fraassen, Ch. F. van, Drie
plaatsnamen uit Oost-Indonesië in de Nagara-Kertagama: Galiyao, Muar en Wwanin
en de vroegere handelsgeschiedenis van de Ambonse eilanden, Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132, p. 293-305
8. ^ Verbaal. 21 April 1906, no. 55.
Nationaal Archief, The Hague, Ministerie van Koloniën, 1900-1963, Openbaar
verbaal, 1900-1952.
9. ^ Heynen, F. C. 1876a. Het Christendom
op het Eiland Flores in Nederlandsch Indië (Studiën op Godsdienstig,
Wetenschappelijk en Letterkundig Gebied 8: 8). The Hague: van Gulick.
10. ^ Barnes, R.H., (2008), Raja Lorenzo II:
A Catholic kingdom in the Dutch East Indies, International
Institute for Asian Studies, Newsletter #47, pp.24-25
Kepustakaan
·
Anderson, B.R.O.G. 1972. ‘The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam
Hoit. C., ed. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University
Press.
·
Barlow, Colin, et.al. 1989. Potensi-potensi Pengembangan Soslal Eko-nomi di
Nusa Tenggara Timur. Canberra: Australian National University.
·
Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuka.
Larantuka: Konfrerta Reinha Rosari.
·
Galtung, Johan. 1980. The True Worlds: A Transnational Perspectives. New
York: MacMillan Co.
·
Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia.
Oxford University Press.
·
Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950. Human Relations
Area
·
Mubyarto, et.al. 1991. Etos Kerfa dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rore,
Sabu,Timor di WIT. Yogyakarta: P3PK UGM.
·
Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.
·
Soewondo, Bambang, et.al. 1987. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: Depdikbud.
·
Soemargono, K. et.al. 1992. Profil Propinsi RI: Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: PT lntermasa.
·
Taum, Yoseph Yapi. 1993. Tradisi dan Transformasi Cerita Wato Wele-Lia
Nurat dalam Cerita Rakyat Flores Timur. Yogyakarta: Tesis Master pada Fakultas
Pascasarjana UGM.
·
Van Wouden, F.A.E. 1985. Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial
Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
·
Vatter, Ernst. 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte
Berguolker Im Tropisehen Holland (1932) oleh S.D. Sjah. Ende Nusa lndah.
Pranala luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar