Kerajaan Pagaruyung
"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.
Pagaruyung Dārul Qarār Pagaruyuang Malayapura | ||||||
| ||||||
| ||||||
Ibukota | Pagaruyung | |||||
Bahasa | Minang, Melayu,Sanskerta | |||||
Agama | Dari Buddha berubah menjadi Islam | |||||
Pemerintahan | Monarki | |||||
Sejarah | ||||||
- | Didirikan | 1347 | ||||
- | Perang Padri | 1825 | ||||
Warning: Value specified for "continent" does not comply |
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Baratsekarang
dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakatMinangkabau,
yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohorSultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung,[1] yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta
kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri,
setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada
dalam pengawasan Belanda.[3]
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] sebuah kerajaan yang pada Prasasti
Amoghapasadisebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang
mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu diSuwarnabhumi.
Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]
Sejarah
Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh
masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang
diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas
menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di
negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran
dari Prasasti
Batusangkar.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca
Amoghapasa[6] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja
di Malayapura,
Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti
Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri
dari kerajaanDharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia
sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman
menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri
Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaituAkarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat
Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan(kemenakan) telah
terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah
prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga
dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[8]
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting
di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu
pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[9]
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan
kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara
Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut
dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut
legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau
sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang
merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari
kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem
administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha
Prasasti Adityawarman
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada
abad ke-13,[11] yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi
Pamalayu oleh Kertanagara, dan
kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah
Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadirajayang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasanKabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti
Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan
kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan
dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.[12]
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai
pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara
Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan
Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa
sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[13]
Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14
sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem
patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di
pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja
Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[14]
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang
kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang
singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang
terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin
Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama
Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau
disebutkan bernama Sultan Alif.[15]
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti
dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan
pada Al-Qur'an.
Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih
dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal
dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda
melibatkan diri dalam peperangan ini.[16]
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung
dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab
atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam,Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari
istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya
misalnya istilah Pandito(pendeta).
Hubungan dengan Belanda
dan Inggris
"Terdapat
keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan
pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tidak ada masalah
dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Maluku, maupun
menterjemahkan surat dari pada raja Kedahdan Terengganu di Semenanjung
Malaya atau dari Minangkabau diSumatera".
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan
Aceh,[17] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai
barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai
barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa
Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan
sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari
Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9
Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa
Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan
bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan
emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan
Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah
rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat
itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera,
disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun
1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung
atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC
di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu
untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara
waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas
keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas,
dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah
mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak
dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai
kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan
emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[27]
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di
pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai
pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas
Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818,
yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu
Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat
peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka
Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan
kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan
Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
"Dari reruntuhan
kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah
peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini
tidak ada lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung".
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang
perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir
barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan
merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam
beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu
dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta
bantuan kepada Belanda, dan
sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggrissewaktu
Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821[3] Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari
Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan
Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan
Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan
mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[1] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada
tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja
Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin
Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di
Pagaruyung.[20]
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui
sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintahHindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20]Kemungkinan
karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar
untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa,
Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari
Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri
berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir
Belanda. Pada tanggal2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan.
Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap
tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau.
Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di
Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia
berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan
Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih
keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih
tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang
dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan
ini ditolak oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[20]
Wilayah kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana
rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari
catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan
bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama
raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak,
Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan
Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup,
tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak
dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:[36]
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu.Durian
Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten
Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten
Kampar, Riausekarang.
Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah
sebagai berikut:
Nan
salilik Gunuang Marapi
Saedaran
Gunuang Pasaman
Sajajaran
Sago jo Singgalang
Saputaran
Talang jo Kurinci
Dari
Sirangkak nan Badangkang
Hinggo
Buayo Putiah Daguak
Sampai ka
Pintu Rajo Hilia
Hinggo
Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau
Hanyuik
Sialang
Balantak Basi
Hinggo Aia
Babaliak Mudiak
Sailiran
Batang Bangkaweh
Sampai ka
ombak nan badabua
Sailiran
Batang Sikilang
Hinggo
lauik nan sadidieh
Ka timua
Ranah Aia Bangih
Rao jo
Mapek Tunggua
Gunuang
Mahalintang
Pasisia
Banda Sapuluah
Taratak
Aia Hitam
Sampai ka
Tanjuang Simalidu
Pucuak
Jambi Sambilan Lurah
|
Daerah
yang berbatasan dengan Jambi
Daerah
hingga Samudra Indonesia
Daerah
sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman Barat
Daerah
yang berbatasan dengan Samudra Indonesia
Daerah
sebelah timur Air Bangis (Sungai Beremas)
Daerah
sepanjang pantai barat Sumatra
Daerah
hingga Tanjung Simalidu
|
Sistem pemerintahan
|
Aparat pemerintahan
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem
pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada diMajapahit[15] masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur
kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang
pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh
raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[37]
Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas
pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang
raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan
masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama.
Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah
lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem
pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang
disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat
menteri utama". Mereka adalah:
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga
syariah agama.
Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya
daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang
disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau
Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung,
Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung
Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal
aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi
masing-masing, yang sebut Langgam
nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
1. Pamuncak Koto Piliang
2. Perdamaian Koto Piliang
3. Pasak Kungkuang Koto
Piliang
4. Harimau Campo Koto
Piliang
5. Camin Taruih Koto
Piliang
6. Cumati Koto Piliang
7. Gajah Tongga Koto
Piliang
Pemerintahan Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom
pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai
kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri
dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang
membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala
persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering
diberi gelar raja.
Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah
pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadiDusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem
administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah
disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang
menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari
yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan
tersebut.[15]
Darek
Luhak nan Tigo
|
||
Luhak Tanah Data
|
Luhak Agam
|
Luhak Limopuluah
|
Ampek-Ampek Angkek
|
Hulu
|
|
Batipuah Sapuluah Koto
|
Lawang nan Tigo Balai
|
Lareh
|
Luhak
|
||
Langgam nan Tujuah
|
Ranah
|
|
Limokaum Duobaleh Koto
|
Sandi
|
|
Lintau Sambilan Koto
|
||
Lubuak nan Tigo
|
||
Nilam Payuang Sakaki
|
||
Pariangan Padangpanjang
|
||
Talawi Tigo Tumpuak
|
||
Tanjuang nan Tigo
|
||
Sapuluah Koto di Ateh
|
Di daerah Darek atau daerah inti
Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo,
yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak
Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah).
Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para
penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari
tersebut.Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan
mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil
melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja
Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak
sebagai penengah dan penentu batas wilayah.
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat
peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang
menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat
mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atasRantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah
Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara
dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan
sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah
perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman,
kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah
turun temurun. Di Inderapura,
raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil
gelar Yang
Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:
Rantau
Luhak Tanah Data
·
Lubuak Ambacang
·
Lubuak Jambi
·
Gunuang Koto
·
Benai
·
Pangian
·
Basra
·
Sitanjua
·
Kopa
·
Taluak Ingin
·
Inuman
·
Surantiah
·
Taluak Rayo
·
Simpang Kulayang
·
Aia Molek
·
Pasia Ringgik
·
Kuantan
·
Talang Mamak
·
Kualo Enok
Ujuang
Darek Kapalo Rantaunya
·
Anduriang Kayu Tanam
·
Guguak Kapalo Hilalang
·
Sicincin
·
Toboh Pakandangan
·
Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
·
Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam,
Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)
|
Rantau
Luhak Agam
·
Tiku Pariaman
·
Pasaman Barat
·
Pasaman Timur
Ujuang
Darek Kapalo Rantaunya
·
Palembayan
·
Silareh Aia
·
Lubuak Basuang
·
Kampuang Pinang
·
Simpang Ampek
·
Sungai Garinggiang
·
Lubuak Bawan
·
Tigo Koto
·
Garagahan
·
Manggopoh
|
Rantau
Luhak Limopuluah
·
Mangilang
·
Tanjuang Balik
·
Pangkalan
·
Koto Alam
·
Gunuang Malintang
·
Muaro Paiti
·
Rantau Barangin
·
Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto
Darussalam, Rokan Ampek Koto)
·
Gunuang Sailan
·
Kuntu
·
Lipek Kain
·
Ludai
·
Ujuang Bukik
·
Batu Sanggan
·
Tigo Baleh Koto Kampar
·
Sibiruang
·
Gunuang Malelo
·
Tabiang
·
Tanjuang
·
Gunuang Bungsu
·
Muaro Takuih
·
Pangkai
·
Binamang
·
Tanjuang Abai
·
Pulau Gadang
·
Baluang Koto Sitangkai
·
Tigo Baleh
·
Lubuak Aguang
·
Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio,
Aia Tirih)
·
Taratak Buluah
·
Pangkalan Indawang
·
Pangkalan Kapeh
·
Pangkalan Sarai
·
Koto Laweh
|
Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang,
Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau
nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.
Nagari-nagari tersebut adalah
·
Airhaji
·
Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
·
Kambang
·
Palangai
·
Lakitan
·
Tapan
·
Tarusan
·
Batang Kapeh
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan
Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah
Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo
Koto).
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang
terletak di wilayah Semenanjung
Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian
masyarakatnya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal
sebagai Negeri Sembilan,
nagari-nagari tersebut adalah
·
Jelai
·
Jelebu
·
Johol
·
Klang
·
Naning
·
Pasir Besar
·
Rembau
·
Segamat
·
Sungai Ujong
Catatan kaki
1. ^ a b c d e f g Amran, Rusli (1981). Sumatera
Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
3. ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en
uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen.
4. ^ Casparis,
J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of
writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1.
5. ^ a b Casparis,
J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia
Tenggara". Tamadun Melayu 3: 918–943.
6. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het
Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka,
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
9. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab
Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
10. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3.
11. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit
in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8.
12. ^ Suleiman, S. (1977). The
archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional, Departemen P & K.
13. ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional
Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X.
14. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires,
London: Hakluyt Society, 2 vols.
15. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo
Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
16. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische
Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
17. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West
Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
18. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en
Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
20. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant
economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
22. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684,
Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor
Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
23. ^ Kato,
Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam
perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
24. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the
life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J.
Duncan.
25. ^ a b Marsden, William (1784). The
history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and
manners of the native inhabitants, with a description of the natural
productions, and a relation of the ancient political state of that island.
26. ^ Andaya,
B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in
the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.
27. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade,
Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
28. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of
the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J.
Duncan.
29. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een
Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis.
van Dorp.
31. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de
vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De
Bataafsche Leeuw.
32. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara
pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta.
Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
35. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah
Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
38. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social
continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships
through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58.
Pranala luar
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
mantul infonya.. untuk yang butuh rekomendasi tujuan wisata di sumatera barat silahkan kunjungi www.pesonatour.com
BalasHapustersedia informasi lengkap untuk wisata disumatera barat termasuk tour pulau serta tour mancanegara lainnya