Siguntur | |||||
| |||||
Ibukota | Siguntur, sitiung, Dharmasraya | ||||
Bahasa | Minang | ||||
Agama | Dari Buddha berubah menjadi Islam | ||||
Pemerintahan | Monarki | ||||
Sejarah | |||||
- | Runtuhnya Dharmasraya | 1250 | |||
- | Bergabung dengan Pagaruyung | Abad XIV | |||
Warning: Value not specified for "common_name"|- style="font-size: 85%;" | Warning: Value specified for "continent" does not comply |
Kerajaan Siguntur adalah kerajaan yang berdiri semenjak
tahun 1250 pasca runtuhnya Kerajaan Dharmasraya dan bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai oleh Kerajaan Pagaruyung tapi sampai sekarang ahli waris istana kerajaan masih ada dan tetap
bergelar Sutan.
Ahli waris yang memegang jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalah Sutan Hendri
Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga
bernaung dibawah kerajaan Pagaruyung dibawah pemerintahan Adityawarman.
Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek
Siguntur, yang mirip dengan dialek Payakumbuh.
Peninggalan
Kerajaan ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut Tari Toga (Tari
Larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang.
Tari Toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan
raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak
raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.
Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada 1908 dan raja-raja di
Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Pemerintahan Kolonial
Belanda, raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil,
termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian
kerajaan, termasuk Tari Toga, pun vakum sudah.
"Tari Toga nyaris hilang, tari itu sudah lama tidak dimainkan dan
hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya mengumpulkan informasi lagi dan
menghidupkan kembali pada 1989," kata Tuan Putri
Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur kepada
PadangKini.com. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri
Tuanku Bagindo Ratu.
Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para penari dan pendendang sudah
banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek yang usianya sudah lebih 80
tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang kakek masih hafal semua
dendang Tari Toga karena sejak tidak lagi berdendang, ia sering melantunkan
dendangnya ketika Batobo.
Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama, 30
sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja
seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja.
"Itulah sebabnya syair tetap diingat, sedangkan tarinya masih ada
seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari ingatan itulah saya susun
kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan Siguntur untuk menarikan Tari
Toga," kata sarjana pendidikan seni Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang) yang kini menjadi guru kesenian
di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya itu.
Tari Toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik
Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan
Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi
Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang, akhir Desember tahun lalu.
Raja-Raja Siguntur
Berikut raja-raja Siguntur:
·
·
Periode Hindu-Buddha
2. Sora (Lembu Sora)
(1290-1300),
3. Pramesora (Pramesywara)
(1300-1343),
4. Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347),
--bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
5. Adikerma (putra
Paramesora) (1347-1397),
6. Guci Rajo Angek Garang
(1397-1425), dan
7. Tiang Panjang
(1425-1560).
·
·
Periode Islam
1. Abdul Jalil Sutan Syah
(1575-1650),
2. Sultan Abdul Qadir
(1650-1727),
3. Sultan Amiruddin
(1727-1864),
4. Sultan Ali Akbar
(1864-1914),
5. Sultan Abu Bakar
(1914-1968),
6. Sultan Hendri
(1968-sekarang)—hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan
Siguntur tinggal nama saja.
Sejarah
Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak diketahui, namun menurut sumber
lokal menyebutkan bahwa daerah Siguntur merupakan sebuah kerajaan Dharmasyraya
di Swarnabhumi (Sumatera) yang berkedudukan di hulu sungai Batanghari, sungai
ini melintasi Provinsi Jambi dengan muara di laut Cina Selatan. Sebelum agama
Islam masuk ke wilayah Minangkabau atau Jambi, kerajaan Siguntur merupakan
kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajaan Malayu, namun pernah bernaung
pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Singasari, dan Minangkabau. Pada tahun
1197 S (1275 M) Siguntur merupakan pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya
Mauliwarmadewa bergelar Sri Buana Raya Mauliawarmadewa sebagai raja
Dharmasyraya. Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa menyebutkan bahwa pada tahun
1286 Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa bersemayam di Dharmasyraya
daerah pedalaman Riau daratan. Dengan kata lain kerajaan Swarnabhumi pada waktu
itu telah dipindahkan dari Jambi ke Dharmasyraya. Melihat kedua pendapat
tersebut, ada kemungkinan pada abad 12 kerajaan Siguntur ini berasal dari
kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi. Abad 14 agama Islam masuk ke Kerajaan
Siguntur. Pada waktu itu yang berkuasa adalah raja Pramesora yang berganti nama
menjadi Sultan Muhamad Syah bin Sora Iskandarsyah. Selanjutnya kerajaan
Siguntur bernaung dibawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti Kerajaan
Siguntur menganut agama Islam terlihat pada masyarakat yang memegang prinsip
syarak bersandi Kitabullah. Selain itu, ditemukan pula dua buah stempel kerajaan
Siguntur berbahasa Arabh yang menyebutkan bahwa "Cap ini dari Sultan
Muhammad Syah bin Sora Iskandar atau Muhammad Sultan Syah Fi Siguntur
Lillahi" dan "Cap ini bertuliskan bahwa Al-Watsiqubi 'inayatillahi'
'azhiim Sutan Sri Maharaja Diraja Ibnu Sutan Abdul Jalil 'inaya Syah
Almarhum." Dan diperkirakan pada masa inilah Masjid Siguntur didirikan.
Pembangunan Mesjid Siguntur
Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang
terdapat di sebelah utara bangunan masjid. Kompleks makam berdenah segi lima
dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya
ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu. Dari sekian banyak makam
hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar
Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah
Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan
Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan
Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi lantai masjid dari papan
menjadi plesteran semen oleh ahli waris dan masyarakat setempat. Kegiatan studi
kelayakan terhadap Rumah Adat dan Masjid Siguntur dilaksanakan pada tahun
1991/1992 oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Sumatera Barat, Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Barat Masjid
Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain: pembongkaran atap beserta
rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Kemudian pemasangan kembali
yang baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan
selasar, pagar beton, pagar kawat berduri, serta pintu besi. Terakhir
pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar tembok.
Darmasraya dan kerajaan-kerajaan penerus
Kerajaan Siguntur, yang mengklaim masih turunan Kerajaaan Dharmasraya,
mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat duplikat Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa dan memindahkan semua
penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum Adityawarman Padang dan
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya.
Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur, mengatakan
pihaknya juga meminta didirikan museum mini di tepi Sungai Batanghari di
Siguntur untuk tempat menyimpan benda-benda sisa Kerajaan Dharmasraya.
"Bila museum mini ini terwujud, sekaligus sebagai pusat informasi
peninggalan Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Siguntur." katanya.
Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang
yang membawahi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, setuju dengan
rencana pihak Kerajaan Siguntur.
"Dharmasraya tak hanya kekayaan arkeologis Sumatera Barat, tapi
Indonesia. Pendirian museum di Kabupaten Dharmasraya ini bagus agar harta
kerajaan yang tersimpan di masing-masing kerajaan tidak hilang, sebab
dikhawatirkan kalau disimpan sendiri-sendiri lama-lama hilang," ujarnya.
Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga
mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan
itu adalahKerajaan Koto
Besar, Kerajaan Pulau
Punjung, Kerajaan Padang
Laweh, dan Kerajaan Sungai
Kambut yang masing-masing juga memiliki sejumlah
peninggalan kuno.
Jejak Candi Peninggalan Kerajaan Siguntur
Sumber / Pranala Luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar