Sriwijaya Kadatuan Sriwijaya | |||||
| |||||
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
| |||||
Ibukota | Sriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya | ||||
Bahasa | Melayu Kuna, Sanskerta | ||||
Agama | Buddha Vajrayana,Buddha Mahayana,Buddha Hinayana,Hindu | ||||
Pemerintahan | Monarki | ||||
Maharaja | |||||
- | 683 | Sri Jayanasa | |||
- | 702 | Sri Indrawarman | |||
- | 775 | Dharanindra | |||
- | 792 | Samaratungga | |||
- | 835 | Balaputradewa | |||
- | 988 | Sri Cudamani Warmadewa | |||
- | 1008 | Sri Mara-Vijayottunggawarman | |||
- | 1025 | Sangrama-Vijayottunggawarman | |||
Sejarah | |||||
- | Didirikan | 600-an | |||
- | Invasi Dharmasraya | 1100-an | |||
Mata uang | Koin emas dan perak | ||||
Warning: Value specified for "continent" does not comply |
Artikel ini memuat aksara Jawa. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari aksara Jawa |
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa: ꦯꦿꦶꦮꦶꦗꦪ; Thai:
ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satukemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2]Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti
"bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis
bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada
abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh
682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan[2] di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui
kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George
Cœdès dari École française
d'Extrême-Orient.[7]
Catatan sejarah
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing.
Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun
1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasaBelanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap
"San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa
prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto
Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu
digunakan justru buat jembatan. Tercatat
ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian
badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan
tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia
Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain
yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat
kayu.[10]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi
oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta
dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnyaZabaj[11] dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain
mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2]Sementara
dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musiantara Bukit
Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera
Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs
Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa
situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit,
kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah
buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk
bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal
meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang
menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat
aktifitas manusia.[12]Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara
Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung
kepada pendapat Moens,[13] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan
Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi
yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari
candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I,
berdasarkan prasasti Tanjore,
Sriwijaya telah beribukota di Kadaram(Kedah sekarang).[6]
Pembentukan dan pertumbuhan
Candi Muara Takus,
salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman
Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang
menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara
langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di
diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua
yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para
ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[19]Di abad
ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti
Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan
ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti
ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya,
peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga)
di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan
yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad
ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina
mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di
awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan
dominasinya atas Kamboja, sampai raja KhmerJayawarman II,
pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang
sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu
menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak
seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi
militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]
Agama
Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77
meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang,
Palembang, berasal dari abad ke-7 sampai ke-8 masehi.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya
menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain
pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695,
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang
belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di
Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana danBuddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asalBenggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[23] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga
secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja
dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan
mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng
kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun
dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke
India untuk belajarSabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu
atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama
muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan
bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan
Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Budaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan
kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan
bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti
Talang Tuomenggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa
penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk
rakyatnya. Prasasti
Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan
jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti
Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara
Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa
Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai
dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa
Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan
dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran
bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang.
Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[24]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer,
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya
di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi
Muaro Jambi, Candi Muara Takus,
dan Biaro
Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang
terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang
ditemukan di Bukit Seguntang,
Palembang[25], dan
arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[26], Bidor, Perak[27] dan Chaiya,[28] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan
dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin
diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar
abad ke-8 sampai ke-9).[29]
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara
India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang
Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus,
kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat
raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan
dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia
Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan
Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan
menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[30]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya
dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di
negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang
mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu
di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa
Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung
Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam
lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya
serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa
pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin
angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu
wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini
merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia
Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah
berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.[31]
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur,
kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari
lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk
menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah
ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di
seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia.
Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah
jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran
antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7
hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya
juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan
utusan Maharaja Sri Indrawarmanyang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar
bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina,
berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[32]
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Mindan kerajaan Nan Han dengan negeri
kayanya Guangdong. Tak
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai),
yang masuk melalui perdagangan mereka.[33][34]
Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari
Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara
berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari
atauthalasokrasi. Dengan
menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya,
Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di
kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga
jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di
kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada
perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga
penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di
pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di
seberang Samudra Hindia.[35]
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal
Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para
peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu sekitar
kurun tahun 830 M. Berdasarkan penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah
mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun
yang lalu.[37]Bahasa Malagasy
mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik
melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal
ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk
yang berasal dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya
mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra
Hindia.[39]
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti
Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu
umumnya dihunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa
Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih
menunggu penelitian sampai sekarang.[14]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya
(Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal
dari Kalinga di selatan India.[40] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang,
menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita
Parahiyangan[42] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti
Sojomerto.[43][44]
Hubungan dengan kekuatan regional
Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya,
Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya
menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China,
dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri
Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan
Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan
ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu
tertulis:
" Dari Raja
sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun
adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah,
yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah
buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga
12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah.
Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda
persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran
Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri
Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[32]
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan
diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini
bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan
hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai
hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban
yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwaChaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan
perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa
Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa.
Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan
Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian
suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani,
hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan
permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti
Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan
asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri
Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja
Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47]Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa
Teguh menyerang Palembang pada tahun 990,
tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh
Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[48]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala,
pada prasasti
Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti
Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra
Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada
abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga
Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang
meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini
Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079.
Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]
Masa keemasan
Arca emas Avalokiteçvarabergaya
Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni
pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan,
menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya
dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk
menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan
lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani
pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang
musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang
Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan
besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan
beberapa hasil bumi lainya.[51]
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini
disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana,
seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya
-sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur
dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[11]
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang
abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang
dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Songmenyebut
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan
Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan
untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa.
Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara
tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[52]
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Champa karena negerinya belum
aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang
naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa
Teguh.[52]
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali
menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari
Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di
Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya
kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan
di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari
ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan
raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya
memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul
mundur angkatan laut Jawa.[52]
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya,
memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun
1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya
telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan
agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan
persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di
candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara
Takus).[15]
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha
menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam
menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa
hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja
bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa
Teguh.[6][48]
Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola
di Kedah.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra
Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan
daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade
berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti
Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada
raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk
kepadanya.[54] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[55]
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya
pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.[56] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin
berkurang, pajak berkurang dan
memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[11]
Kerajaan
Tanjungpura dan Nan
Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman
dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian
orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan
Selatan.[57]
Nama kawasan
|
Keterangan
|
Pannai
|
|
Malaiyur
|
|
Mayirudingam
|
|
Ilangasogam
|
|
Mappappalam
|
|
Mevilimbangam
|
|
Valaippanduru
|
|
Takkolam
|
|
Madamalingam
|
|
Ilamuri-Desam
|
|
Nakkavaram
|
|
Kadaram
|
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079,Kulothunga
Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang
berjudul Sung Hui Yaodisebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan
Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat
dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula
227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan
utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas
raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai
muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan
Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian
barat.
Pada tahun 1079 dan 1088,
catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina.[58] Khususnya pada tahun 1079,
masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina.[58] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.[58] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang
memungkinkan Jambi untuk mengambil
kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[59]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[60] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan
Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan
Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah
bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling(Tambralingga, Ligor,
selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang),Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai(Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi(Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan
telah identik dengan Dharmasraya.
Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah
jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut
San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut
Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim
sebuah ekspedisi
Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa diDharmasraya sebagaimana yang
tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang
terdapat pada prasasti Grahi.
Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga
sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya
merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Prasasti Telaga Batu
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[11] Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[61]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah)
tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai(drawy) sebagai kawasan yang mesti
dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap
sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu
kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan
jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.
Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan
otonom dari bhūmi yang berada dalam
pengaruh kekuasaankadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara
berurutanyuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[62] Prasasti
Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam
struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga
Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang
menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada
di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian
terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana(pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja),marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).[20]
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu
luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][62] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk
mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan
Sriwijaya dibagi menjadi dua.[44]
Tahun
|
Nama Raja
|
Ibukota
|
Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
|
671
|
Shih-li-fo-shih
|
Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu,
penaklukan Jawa
|
|
702
|
Shih-li-t-'o-pa-mo
|
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
|
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724
|
728
|
Lieou-t'eng-wei-kong
|
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
|
Utusan ke Tiongkok 728-742
|
743-774
|
Belum ada berita pada periode ini
|
||
775
|
Sriwijaya
|
||
778
|
|||
782
|
Jawa
|
||
792
|
Jawa
|
||
840
|
|||
856
|
Suwarnadwipa
|
Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa
|
|
861-959
|
Belum ada berita pada periode ini
|
||
960
|
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
|
Sriwijaya
San-fo-ts'i
|
Utusan ke Tiongkok 960, & 962
|
980
|
Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
|
||
988
|
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
|
Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i
|
990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou |
1008
|
Se-li-ma-la-pi
|
San-fo-ts'i
Kataha
|
|
1017
|
Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan |
||
1025
|
Sriwijaya
Kadaram
|
||
1030
|
|||
1079
|
Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga
Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079
membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
|
||
1082
|
|||
1089-1177
|
Belum ada berita
|
||
1178
|
Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
|
||
1183
|
Warisan sejarah
Busana gadis penari Gending Sriwijayayang
raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan
keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan
kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa
kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi
Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang
Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya
dari Bintan, bersama para
pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China
yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang
kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini
berhasil dipukul mundur. Akan tetapi serangan Majapahit pada penghujung abad ke-14 telah meruntuhkan kerajaan ini. Akibatnya
rajanya yang terakhir, Parameswara, terpaksa melarikan diri ke Semenanjung
Melayu. Parameswara kemudiannya mendirikan Kesultanan Melaka pada
tahun 1402.[59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya menggantikan
kedudukan Sriwijaya sebagai kuasa politik Melayu utama di kawasan.[60][61]
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad,
kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas
tersebarluasnya penggunaan Bahasa
Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir.
Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua
franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[64] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan
memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. AdapunBahasa
Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad
ke-14 M.[65]
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya
sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[66] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan
identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera
Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya.
Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan
di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun
1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian
di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion
Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola
Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan
merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011
digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan
tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula"
menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya
perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[67][68]
Catatan bawah
1. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan
pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar
dan merekalah yang bertindak sebagai pengurusnya .[63]
Rujukan
1. ^ Cœdès, George (1930).
"Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole
français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80.
2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya,
Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion
as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing,
Oxford, London.
5. ^ Casparis,
J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of
writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9.
6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006).
In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
7. ^ Cœdès, George (1918).
"Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français
d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36.
8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories.
New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis
van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel.
hlm. vol. I p. 149.
10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di
Sumatera Selatan". Detik. Diakses 20 April 2012.
12. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan
Sriwijaya, Beberapa Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan,
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
13. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar
sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.
14. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah
nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
16. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya:
history, religion & language of an early Malay polity : collected
studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
17. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa
Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis &
sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
18. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah
Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
20. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN
IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA.
hlm. 86. ISBN 978-979-543-708-6.
21. ^ Supratna,
Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program
Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2.
Diakses 20 April 2012.
22. ^ Cœdès, George (1996). The
Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X.
26. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and
artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta,
9-11 November 2006
28. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya
Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
32. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam
in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan
Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
34. ^ Sobir, PhD, Firmansyah D. Siregar (2010), Budi Daya Semangka Panen 60 Hari, Penebar
Swadaya: Jakarta. Hlm 5-6. Diakses 8 Juli 2013
36. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012). "Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Berasal dari
Kerajaan Sriwijaya". Detik. Diakses 18 April 2012.
38. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women
founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B.
Diakses 2012-03-23.
39. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk
Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Diakses
2012-03-23.
40. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de
Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient.
XXXIII: 121–144.
43. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old
malay inscription at Sojomerto". MISI III:
241–251.
45. ^ O. W. Wolters,
(1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya,
Cornell University Press, Ithaca.
47. ^ Muljana, Slamet (2006).
In F.W. Stapel. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
50. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino
Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities.
hlm. pages 77.
51. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia,
900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. hlm. 252. Diakses 16
January 2013.
53. ^ Muljana, Slamet (2006).
In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara.ISBN 978-979-8451-62-1.
55. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam
to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia.
Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5.
57. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan
Nan Sarunai". Melayu online. Diarsipkan dari aslinya tanggal 25 August 2012. Diakses
25 August 2012.
60. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on
the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled
Chu-fan-chi. St Petersburg..
61. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of
Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de
l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180.
62. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected
Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa
Baru.
66. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8.
Bacaan Lanjutan
·
D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan,
1955.
·
D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview
Press, 1997.
·
Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe
Armonk, 1996.
·
Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast
Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
·
Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
·
Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (dalam
bahasa Melayu). Kuala Lumpur:
Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X Check |isbn= value (help).
·
Collins, James T. (2005). Bahasa
Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama
dengan Pusat Bahasa danYayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4.
·
Natawidjaja, P. Suparman (1985). Mengenal
Buah-Buahan yang Bergizi (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Dian.
·
Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan
Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (dalam
bahasa Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0.
Pranala luar
Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar