Kerajaan Selaparang
Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada
di Pulau
Lombok. Pusat kerajaan ini pada masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang), yang saat ini kurang
lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Sejujurnya minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan
Selaparang, terutama sekali tentang awal mula berdirinya. Namun, tentu saja
terdapat beberapa sumber objektif yang cukup dapat dipercaya. Salah satunya
adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa
berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah
masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.[1]
Sejarah
Menteri Besar Lombok 1865
Raja Lombok
Istri Raja Lombok 1870
Berdirinya Selaparang
Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama
Islam salah satunya pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh
dari kota Bagdad, Iraq, bernamaAsySyaikh As-Sayyid Nūrurrasyīd Ibnu Hajar
al-Haytami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan 'Ghaus
'Abdurrazzāq'. Beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya
juga sebagai menurunkan Sulthan-Sulthan dari kerajaan-kerajaan
yang ada di Pulau Lombok.[2] Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sulthan-Sulthan di Pulau Lombok.
Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra
Pengendeng Segara Katon Rambitan yang bernama asli Sayyid 'Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok, seorang muballigh dan Wali Allah. Kata "Nyatoq" artinya Nyata. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, karena ketinggian
ilmu tarekatnya (thariqah),
maka beliau memilih untuk mengundurkan diri dari panggung Kerajaan Kayangan dan
kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah,
sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.[3] Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Pulau Jawa beliau bernama Aji Duta Semu atauPangeran Sangupati. Wali Nyatoq dikenal juga di Lombok dengan
nama Datu Pangeran Djajing Sorga yang dipercaya datang dari Majapahit, Kabangan, Jawa Timur, untuk
menyebarkan agama Islam. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan
Wayang, Tashawwuf dan Fiqh. Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu
media yang digunakannya adalah Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga.
Adapun bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan
kombinasi (sinkretisme)
antara mistisme Islam (Sufisme)
dengan salah satu ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.[4]
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaus 'Abdurrazzāq. Tidak diketahui
secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok. Namun
pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaus 'Abdurrazzāq mendarat di Lombok Utara yang disebut dengan Bayan. Beliaupun menetap dan berda'wah di
sana. Beliau kemudian menikah dan lahirlahi tiga orang anak, ya'ni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi
datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qomariah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.[5]
Kemudian Ghaus 'Abdurrazzāq menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua
orang anak, ya'ni seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan sebutan Syaikh 'Abdurrahman) atau disebut pula
dengan Ghaos 'Abdurrahman, dan seorang putri
bernama Syarifah Lathifahyang dijuluki dengan Denda Rabi'ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang
sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.[6]
Sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara
Tunggul Nala) dan Ghaus 'Abdurrazzāq yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar
agama Islam, menjadi cikal bakal Sulthan-Sulthan Lombok dan pendiri Kerajaan
Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah:Tidakkah
keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu
sebagai Ghaus 'Abdurrazzāq, dan Wali Nyatok adalah Ghaos 'Abdurrahman?. Hal
itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali
menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.
Kejayaan Selaparang
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun
di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki
wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang
harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena
lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar
lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua
kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar
tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat
ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar
pula.[7]
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan
kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor
agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke
pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini.
Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan
demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui.
Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang
berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat
hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang
melimpah.[8]
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang
mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang
dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha,
dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera
mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala,
dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang
memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.[9]
Keruntuhan Selaparang
Makam Raja Selaparang
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan
Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat
telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15
dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali)
secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh
berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan
Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun
setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh
pasukan Kerajaan Selaparang.[10]
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul
secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya
sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat
diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu,
sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini
berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan
Patinglaga Deneq Wirabangsa.[11]
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu,
yakni Kerajaan Gelgel, dan Kerajaan Mataram Karang Asem, maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat
kerajaan bernama Arya Banjar Getas ditengarai berselisih paham dengan rajanya,
raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan
Selaparang dan Pejanggik. Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya kemudian
memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi
militer Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang pada saat
itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat.
Kemudian dengan segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan
pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan
Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi. Sejak saat
itu, Kerajaan Karang Asem menjadi penguasa tunggal di Lombok.[13]
Catatan Kaki
1. ^ (Indonesia) Perlu diketahui juga bahwa salah seorang anggota wali sembilan (wali
songo), Maulana Malik Ibrahim?beliau
dipercaya juga sebagai yang tertua di antara anggota wali sembilan
lainnya?pernah juga berda'wah di Pulau Lombok sebelum beliau pergi ke
Pulau Jawa. Bukti bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah
berda'wah di Pulau Lombok adalah
terdapatnya sebuahmasjid kuno bernama masjid Maulana Malik Ibrahim di
desa Pengkores, Lombok Utara, yang
hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh sebagai saksi da'wah Maulana Malik Ibrahim di
lokasi tersebut.
2. ^ (Indonesia) Ibrahim Husni. Draf Penelitian tentang Sejarah Nahdlatul
Wathan dan Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Lombok
Timur. 1982 (Tidak Diterbitkan). hlm. 1.
4. ^ (Indonesia) Usri Indah Handayani. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan
Nusa Tenggara Barat. Mataram. 2004. Museum Negri Prov NTB.
6. ^ (Perancis) Galih Widjil Pangarsa. Les mosquees de Lombok: Evolution
architecturale et diffusion de l'islam. Archipel No 44, EHESS. Paris, 1992.
7. ^ (Indonesia) Mohammad Noor, dkk. Visi Kebangsaan Religius: Refleksi
Pemikiran dan Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Logos Wacana Ilmu.
Jakarta. 2004. hlm. 85.
9. ^ (Indonesia) Fathurrahman Zakaria. Mozaik Budaya Orang Mataram.
Yayasan Sumurmas al-Hamidy. Mataram. 1998. hlm. 46. Lihat pula, http://en.rodovid.org/wk/Person:306608
Sumber: Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar