KESULTANAN MALAKA
Kesultanan Malaka pada abad ke-15, berdasarkan keterangan "Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia", PT Pembina Peraga Jakarta 1996
| ||
Ibukota | Malaka | |
Bahasa | Melayu | |
Agama | Islam | |
Pemerintahan | Monarki | |
Sultan | ||
- | 1405-1414 | Parameswara |
- | 1414-1424 | Megat Iskandar Syah |
- | 1424-1444 | Sultan Muhammad Syah |
- | 1444-1445 | Seri Parameswara Dewa Syah |
- | 1445-1459 | Sultan Mudzaffar Syah |
Sejarah | ||
- | Didirikan | 1405 |
- | Invasi Portugis | 1511 |
Warning: Value specified for "continent" does not comply |
Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri di Malaka, Malaysia. Kerajaan
ini didirikan oleh Parameswara,
kemudian mencapai puncak kejayaan di abad ke 15 dengan menguasai jalur
pelayaran Selat Malaka,
sebelum ditaklukan oleh Portugal tahun 1511.
Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropadi kawasan Nusantara.
Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat
digunakan sebagai bahan kajian sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat
diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa Dinasti Ming. Dari
perbandingan dua sumber ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal
Malaka terutama hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Malaka serta
rentang waktu dari pemerintahan masing-masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka,
namun perkembangan berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang
ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh
penguasa Malaka berikutnya.
Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura, kemudian
serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik Dinasti Ming mencatatParameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya.[1] Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[2] kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Cina.[3]Pengaruh yang
besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya
serangan Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka.[4] Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan
kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi
pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan
armada Ming.[5][6]
Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh
masyarakat Malaka,[4] sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan.[5] Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun
kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat
Iskandar Syah,[2] memerintah selama 10 tahun, kemudian menganutagama Islam[7] dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang
kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya
hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya,
Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Hubungan dengan kekuatan regional
Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada
Ming berperan mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak dan bajak
laut.[4] Di bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di
pesisir barat Semenanjung
Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring berubahnya kebijakan luar negeri Dinasti Ming,
Kawasan ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari kedaulatannya sampai Malaka
jatuh ke tangan Portugal, dan
setelah takluknya Malaka, kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam
kekuasaan Siam.[6]
Sulalatus
Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan
Malaka dengan Pasai, hubungan
kekerabatan ini dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan
Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan
pemberontakan yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng Ho menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua
kawasan tersebut telah menjadi tempat pemukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[4]Sementara
kemungkinan ada ancaman dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan
diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut.[8] Selain itu sekitar tahun 1475 di Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka
klaim sebelumnya sebagai daerah bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak
terlihat setelah jatuhnya Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali
pasukan Demak mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal.[7][9]
Masa kejayaan
Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di
Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatera, setelah
sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam.[8] Di mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang tidak menjadi muslim dengan baik.[7] Penaklukan Malaka atas kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada
laut yang kuat pada masa tersebut serta kemampuan mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timurPulau Sumatera sampai Laut Cina Selatan.
Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka
untuk singgah di Malaka serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang
jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.[10]
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah danPahang, dan
menjadikannya negara vassal.[11] Di bawah sultan yang sama Kampar, dan Siak juga takluk.[11] Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi merupakan hadiah dari Batara Majapahit untuk Raja Malaka.[11] Sultan Mansur Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah namun memerintah tidak
begitu lama karena diduga ia diracun sampai meninggal[12]dan
kemudian digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.[8]
Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan
dan pusat perdagangan dari beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan
kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam penguasaan jalur Selat Malaka,
termasuk mengendalikan kedua pesisir yang mengapit selat itu.[12]
Penurunan
Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota
kerajaan tersebut diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru.[13] Perlawanan terhadap penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan
100 kapal 5000 tentara mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil
dikalahkan oleh Portugal.[9]Selanjutnya
untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan kawasan
antara Selat Malaka. Pada
bulan Juli 1514, de Albuquerque berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar
menyatakan kesediaan dirinya sebagai vazal dari Portugal di Malaka.[13]
Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus
melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha
Sultan Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal gagal. Di sisi lain Portugal
juga terus memperkokoh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada
pertengahan tahun 1521, Portugal menyerangPasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga
merupakan sekutu dari Sultan Malaka.
Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal dibawah pimpinan de
Albuquerque mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka,
namun serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam
serangan berikutnya pada 23 Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Malaka kemudian
melarikan diri keKampar, tempat dia
wafat dua tahun kemudian.[13] Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum
menetap di Johor.[10] Kemudian pada masa berikutnya para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut
dengan Sultan Johor.
Walaupun Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam namun dalam menjalankan pemerintahan, kerajaan ini tidak menerapkan
pemerintahan Islam sepenuhnya. Undang-undang yang berlaku di Malaka seperti Hukum Kanun Malaka hanya 40,9% mengikut aturan Islam. Begitu
juga Undang-undang Laut Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikut aturan Islam.[12]
Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata
pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh
peraturan dan undang-undang merujuk kepada Raja Malaka. Sementara dalam
administrasi pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa pembesar,
antaranya Bendahara,Tumenggung, Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi
beberapa menteri yang bertanggungjawab atas beberapa urusan negara.[14] Selain itu terdapat jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan kepada kelompok masyarakat Orang Laut.[10]
Berikut daftar raja Malaka[5]
Periode
|
Nama Raja
|
Catatan dan peristiwa penting
|
1405-1414
|
Pai-li-mi-sul-la*
Parameswara Raja Iskandar Syah** Paramicura**** |
|
1414-1424
|
Mu-kan-sa-yu-ti-er-sha*
Megat Iskandar Syah Raja Kecil Besar** Raja Besar Muda*** Chaquem Daraxa**** |
|
1424-1444
|
Hsi-li-ma-ha-la-che*
Sri Maharaja Sultan Muhammad Syah** Raja Tengah*** |
|
1444-1445
|
Hsi-li-pa-mi-hsi-wa-er-tiu-pa-sha*
Sri Parameswara Dewa Syah Sultan Abu Syahid** Sultan Muhammad Syah*** |
|
1446-1459
|
Su-lu-t'an-wu-ta-fo-na-sha*
Sultan Mudzaffar Syah** Sultan Modafaixa**** |
|
1459-1477
|
||
1477-1488
|
||
1488-1511
|
||
Catatan:
* Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming. ** Berdasarkan Sulalatus Salatin versi Raffles. *** Berdasarkan Sulalatus Salatin versi William Shellabear. **** Berdasarkan Suma Oriental Tomé Pires. |
Rujukan
1. ^ Gungwu, Wang (2003). Only connect!: Sino-Malay encounters.
Eastern Universities Press. ISBN 9812102434.
2. ^ a b Hooker, Virginia M. (2003). A Short History of Malaysia:
linking east and west. Allen & Unwin. ISBN 1864489553.
3. ^ Cleary, Mark; Kim Chuan Goh (2000). Environment and
development in the Straits of Malacca. Routledge. ISBN 0415172438.
4. ^ a b c d Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri
perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 9794613614
5. ^ a b c Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng
He & Southeast Asia, ISBN 9812303294.
7. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires,
London: Hakluyt Society, 2 vols
8. ^ a b c Raffles, T.S., (1821), Malay annals (translated from the Malay
language, by the late Dr. John Leyden).
9. ^ a b Ricklefs, Merle C. (2001). A history of modern Indonesia
since c. 1200. Stanford University Press. ISBN 0804744807.
10. ^ a b c Andaya, Leonard Y. (2008). Leaves of the same tree: trade and
ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0824831896.
12. ^ a b c Halimi, A.J., (2008), Sejarah dan tamadun bangsa Melayu,
Utusan Publications, ISBN 9789676121554.
Pranala luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar